Dari masa ke masa, manusia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Mulai dari hidup sekedar hidup sampai serba-serbi hidup,yakni membutuhkan eksistensi dan keinginan-keinginan lainnya. Sampai hari ini, pola hidup manusia terus berputar dan berubah-ubah. Misalkan, dahulu kerja yang menuntut untuk produktif  dalam tindakan nyata dan membangun, hari ini di sebagian orang, aktivitas kerja cukup sambil tiduran dan menunggu subscribe dan like datang. Bagi mereka yang sudah terlanjur tertinggal dari eksistensi dunia maya seakan akan merasa ter-diskriminasi. Itu salah satu hal dari beberapa hal yang menjadikan kita berfikir sejenak terhadap fenomena tersebut.

Kita masih ingat saat masa kecil kita, saat teknologi belum begitu masif dan berkembang. Mau bermain saja kita harus kerumah rumah guna menjemput teman dan kemudian kumpul dan bermain bersama-sama dengan pelbagai permainan tradisional yang ada. Namun hari ini, kita bisa bermain cukup dengan diri sendiri, ya dengan smartphone yang di dalmanya berisi ratusan games. Mungkin hari ini kita rindu  dengan apa yang dulu biasa dilakukan untuk sekedar membahagiakan diri. Coba kita sedikit nostalgia dengan keadaan saat ini. Adakah kita merasa ada sesuatu yang hilang?

Di era saat ini, yang kita kenal dengan era milenial, era disrupsi  dan era era yang lain, manusia dihadapkan dengan kemudahan yang didalamnya penuh dengan banyak konsekuensi. Asumsinya begini, semakin canggih peradaban maka banyak dampak negatif juga yang dihasilkan. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya rasa kemanusian. Rasa kemanusiaan ini timbul karena moralitas yan terkikis yang akhirnya membuat pendidikan hampir kehilangan karakternya. Kita bayangkan saja, setiap anak bisa menerima segala informasi tanpa adanya filter dalam smartphone yang digenggamnya. Berangkat diatas, marilah kita merespon bersama perkembangan teknologi ini dengan bijak. Yaitu dengan menggunakan sesuai porsinya.

Nur Ashari